edisi kali ini adalah edisi asal jalan tapi seru dan ga keluar banyak duit. oh iya selama bukan high season, cari hostel yang murah di Ubud lumayan gampang, harga rata-rata sekitar 200-350 ribu aja semalam.

dari Ubud kami naik travel ke kota pelabuhan Padang Bai. ini saya sarankan kalau belum terlalu tau jalan dan ngga bawa kendaraan pribadi. salah satu tour & travel yang bisa saya sarankan adalah Perama. kami bayar 175 ribu untuk rute Ubud-Senggigi lewat Padang Bai. dari Padang Bai kami naik kapal ferry biasa, cukup 15 ribu rupiah sampai pelabuhan Lembar, Lombok. tapi ya namanya cuma bayar 15 ribu, kami butuh waktu sekitar 6 jam buat nyebrang dari Padang Bai ke Lembar. dari Lembar kami naik travel lagi, masih dari Perama dan memutuskan menginap semalam di Senggigi. lagi lagi cukup gampang buat nemu hostel murah, untungnya kami selama disana bukan saat high season. tips dari saya, coba cari penginapan lewat laman internet Airy Rooms, karena penginapan-penginapannya cukup bersih dan terjangkau.

di Senggigi sayangnya menurut kami pantainya tidak terlalu spesial. sore menjelang matahari terbenam kami jalan kaki (seperti biasa) menuju pantai, karena ngga nemu apa-apa jadi kami duduk duduk di pinggir pantai, main gitar dan nyanyi dengan dua penduduk lokal yang ternyata bisa bahasa jerman sedikit sedikit. paginya karena kami bingung mau pilih jasa fast boat atau public boat yang mana untuk menyeberang ke Gili Meno (dan karena saya jalan bareng dua turis asing yang sudah kaya mangsa empuk), datang lah dua orang ke arah kami. yang satu supir taksi, yang satu supir angkutan umum. setelah tawar menawar yang sengit jadilah kami nyewa satu "mobil" angkutan umum menuju Bangsal, kota pelabuhan sebelum ke Gili. cukup 100 ribu aja buat tiga orang. ini seru juga, karena sepanjang jalan kami bisa lihat pantai-pantai di Lombok yang indah dari dalam angkutan yang pintu belakangnya sengaja terbuka. jadi semriwing semriwing lah.

sunset di Senggigi




dari Bangsal kami bayar lagi lagi murah banget untuk naik public boat ke Gili Meno, seingat saya sih 15 ribu. sambil nunggu perahunya siap dinaiki, kami cari sarapan/makan siang di warung pelabuhan. si T suka banget sama nasi bungkus 7 ribuan, karena masih lapar akhirnya kami makan nasi ikan di salah satu warung dan beli jajanan pasar yang saya udah kangen banget. sampai Gili Meno, kami langsung jalan menuju penginapan. disini dilarang naik kendaraan bermotor, jadi moda transportasi kemana-mana adalah delman, sepeda, atau jalan kaki. untungnya di hostel yang kami tuju masih ada kasur kosong. hostel ini jadi salah satu highlight perjalanan kami, karena ini bukan hostel biasa. saya suka karena desainnya unik, penataan ruangannya efektif dan harganya sangat terjangkau. sayangnya saya satu-satunya turis lokal yang menginap disitu. sisanya turis-turis asing yang juga backpacker. tapi yang saya suka dari traveling dan bertemu orang baruadalah cerita-cerita seru dari berbagai macam belahan dunia. nama hostelnya adalah The Rabbit Tree, mungkin bisa jadi salah satu alternatif pilihan menginap di Gili Meno. (mereka punya acara movie night dan party tiap malam gantian, jadi untuk yang kurang suka suasana party mungkin bisa pikir-pikir lagi, karena suasana bisa jadi cukup ekstrim untuk yang belum terbiasa. saya sih tidur di kamar aja.) Tiap pagi ada sarapan pancakes, kopi dan teh. kami cukup bayar 100 ribu aja per malam tiap orang untuk kamar Tree House yang isinya lima orang.

di Gili Meno kami main voli pantai bareng tamu hostel yang lain, snorkeling, makan di warung, ngobrol dengan penduduk lokal, nonton sunrise di pantai, lihat penangkaran penyu, malas-malasan baca buku di pantai, main tenis meja di halaman belakang hostel dan jalan kaki muterin satu pulau. untuk makan di Meno kami cukup hemat, karena sarapan termasuk harga menginap hostel, kami biasanya jajan beli buah lalu makan di warung malamnya. harga warung disini sekitar 20 ribu- 45 ribu, cukup murah dibandingkan dengan harga makanan resto.





halaman belakang hostel




ruang sarapan hostel yang bisa diisi air dan jadi pool



it's "pablick" not public

sunrise di Gili Meno



setelah 2 malam di Gili Meno, kami pulang menuju Bali. kali ini karena alasan waktu yang mepet, kami memilih naik fast boat dari Gili Meno ke Padang Bai lalu lanjut ke Sanur. harga tiket fast boat 350 ribu, termasuk travel dari Padang Bai ke Sanur. di Sanur kami ngga stay lama-lama, karena terlalu ramai turis asing dan lokal. setelah semalam menginap di hostel, kami naik taksi ke Kuta (maklum turis sis, biar tau aja kata mereka Kuta kayak apa), main ombak sebentar lalu naik taksi ke terminal bus Mengwi. dari terminal Mengwi kami naik bus ke Banyuwangi (harga tiket bus AC 150 ribu), karena dini hari kami harus mulai jalan ke kawah Ijen untuk lihat blue fire.

cerita naik gunungnya di post berikutnya ya, sekarang sampai sini aja dulu saudara-saudara. see ya!
hellow! akhirnya kepikiran nulis lagi setelah entah berapa lama absen. bahkan nengok blog sendiri aja malas banget. daripada ngga ada yang bermanfaat yang bisa dibagi marilah saya mulai tengah tahun ini dengan cerita perjalanan pulang kampung yang disertai puluhan kilo jalan kaki siang-siang, hampir 2 hari menyeberangi setengah bumi, ngambek gantian dan entah berapa puluh tusuk sate 😅

seminggu pertama saya ceritakan singkat aja, saya terbang 12 jam dari Frankfurt ke Singapura, transit 15 jam di bandara Changi, terbang ke Jakarta, nunggu flight 5 jam dari Jakarta ke Surabaya plus 2-3 jam dari Surabaya sampai rumah di Malang. kami yang harusnya terbang berempat jadi tinggal berdua aja, karena satu orang teman saya harus operasi mulut di Jerman dan yang satunya lagi (mari kita sebut dia si T supaya ga bingung saudara saudara dan tetap menjaga privasi yang bersangkutan) patah tulang 2 hari sebelum penerbangan. doi pun akhirnya harus dioperasi juga, ironisnya hari dia dioperasi bersamaan dengan hari penerbangan kami (yang harusnya) sama-sama. jadilah di Malang saya dan teman baru saya, si A, (yang sebelumnya cuma say hi aja, jadi dia ini sahabat teman serumah saya yang harus operasi mulut, panggil aja si L) jalan-jalan, makan-makan, main ke pantai dan naik gunung.


setelah kurang lebih seminggu di Malang kami lanjut ke Bali naik mobil, dimana nanti di perjalanan-perjalanan selanjutnya kami ga ada yang bayarin makan lagi karena orang tua saya ga ikutan 😝 sampai di Bali kami langsung jemput T yang ngebet minta nyusul ke Indonesia meskipun tangannya baru dioperasi dan harus pakai gips kemana-mana. saya awalnya agak skeptis dengan Bali, karena pergi ke Bali sama dengan masuk jebakan turis yang amat sangat mainstream dan ingin sok hippie. tapi harus saya akui, saya sukaaaaa sama Ubud!

3 malam pertama di Bali kami bertiga tinggal di vila salah satu kenalan di daerah Tegallalang. jauh dari mana-mana. jalannya gelap. dikelilingin sawah. suuuuper seru!

Ubud day 1:
hari pertama kami memutuskan jalan ke hutan monyet alias Monkey Forest. saya sendiri bukan penggemar monyet jawa kecil-kecil yang suka nyolongin barang orang, tapi si A ini suka banget sama monyet. jadilah kami jalan kaki dari Tegallalang ke daerah Ubud sentral karena kami mahasiswa bokek yang pengen jalan-jalan tapi ngga punya duit, ngga ada mobil bro. setelah kurang lebih 5 km jalan kaki, kami mampir Pasar Ubud beli celana Bali, pisang susu buat bekal di jalan bukan buat monyet lalu nunggu shuttle bus gratis yang bakal mengantarkan kami ke Monkey Forest.

kami pun jalan mengelilingi Monkey Forest nya, tentu aja saya pake digelandotin monyet dan beberapa nyolong tisunya A dari tas tapi karena kami cerdas ga ada makanan yang dicolong sama monyet-monyet petakilan ini ;) sepulangnya dari sana kami cari makan siang yang digabung makan malam (hehe) di sekitar Jl. Monkey Forest. harga makanan di daerah Ubud masih banyak yang masuk akal menurut saya dan rasanya juga oke. salah satunya yang bisa saya rekomendasikan adalah si Dian Resto. daaaan kami menemukan es bikinan sendiri alias homemade paling enak yang pernah kami makan, ini ga bohong, namanya Paletas Wey. kami nyobain rasa nanas. peanut, mangga, banana nutella sama chocolate avocado dan semuanya enak!! sampai-sampai tiap hari kalau jalan ke Ubud pasti beli es haha.. hari itu kami akhiri dengan jalan kaki balik ke Tegallalang, kaki rasanya super capek setelah jalan dari siang sampe jam 9 malam, tapi hari pertama di Ubud sangat amat menyenangkan!



Ubud day 2:
di hari kedua kami memutuskan mengadakan penjelajahan sawah di Tegallalang, karena Tegallalang memang terkenal sama sawahnya atau rice terrace kalau turis-turis bilang. untungnya sebelum kami nyasar masuk sawah orang, yang punya vila tempat kami tinggal menawarkan untuk 'mblakrak' bareng kami sekalian nunjukin jalan, karena mereka dalam seminggu beberapa kali rutin jalan-jalan lewat sawah-sawah disitu. saya merasa bersyukur jadi orang Indonesia yang tanahnya subur, sepanjang tahun bisa ditanami apa saja, sementara disini kalau musim dingin yang tumbuh cuma kentang dan beberapa sayuran.

selesai jadi rara the sawah explorer, kami berpisah jalan dengan si empunya vila, mereka balik pulang dan kami lanjut jalan sedikit ke tempat makan di tengah sawah namanya Greenkubu. Makanannya biasa aja menurut kami, tapi viewnya indah dan kita bisa naik ayunan super tinggi di hutan belantara cukup dengan bayar 20 ribu aja. sorenya kami santai-santai di vila, renang sampai malam, lihat sunset dari kolam renang, makan malam lalu tidur pulas banget.








Ubud day 3:
nah di hari ketiga kami berencana agak keluar dari Ubud sedikit, jadi kami memutuskan untuk menyewa mobil plus sopirnya sekalian. kombinasi trio kami juga kurang memadai untuk nyetir sendiri; yang satu tangannya patah, saya ga bisa nyetir dan satunya lagi takut nyetir di jalanan Bali yang liar. jadi ceritanya hari itu agak mewah, gengs, jalan-jalannya karena naik mobil lol.

tujuan kami adalah Green School Bali. saya sudah lama banget pengen ikutan tournya sekolah ini, karena selain sekolahnya sangat ramah lingkungan, mereka juga punya proyek-proyek yang melibatkan penduduk sekitar yang hasilnya masyarakat lokal pun jadi sadar lingkungan juga. sayangnya memang sekolah disini biayanya mahal banget, jual ginjal aja ga cukup hiks jadi kurang dari 20% siswanya adalah WNI (penduduk lokal yang diberi beasiswa), sisanya adalah anak-anak pendatang atau ekspatriat.

setelah dari Green School di Badung kami ke kebun kopi, sayangnya saya lupa ini dimana. seingat saya sih sebelum ke arah Kintamani, setelah Pura Tirta Empul. oh iya sebelum itu kami ke Pura Goa Gajah, menurut saya oke aja sih, tidak spektakuler dan tidak jelek juga. tapi jujur aja masih banyak tempat lain yang worth it untuk dikunjungi. di kebun kopi kami bisa mencoba macam-macam jenis kopi dan teh gratis termasuk teh beras merah, teh manggis, teh kunir dan teh jahe, kecuali kopi luwak harus bayar 50 ribu buat nyoba satu cangkir. karena kami miskin dan senang-senang aja dapat kopi dan teh gratis, akhirnya ngga nyobain deh. cukup ngelus-ngelus luwak dan anak luwak aja udah puas.

sorenya kami memutuskan untuk balik ke Ubud dan trekking versi centil karena medannya ga susah sama sekali, tapi pemandangannya bagus sekaliiii melewati Campuhan Ridge Walk. disini si T mulai rada bad mood karena dia orangnya cukup introvert dan rupanya orang introvert butuh waktu sendiri setelah beberapa saat bergaul sama orang pencilakan macam saya sama si A.. jadi saya pun jalan ke arah Desa Campuhan berdua sama A, eh ngga taunya saking semangatnya jalan dan cerita kami kejauhan jalan kakinya sampai udah ngga ada jalur trekking nya lagi.. 😂

malamnya kami bertiga nonton tari Kecak di suatu Pura yang saya lupa namanya, pokoknya dari Jl. Raya Ubud sekitar 1-2 km lagi dari perempatan dekat Ubud Palace. ini keren banget, awalnya saya udah ngga mau aja diajakin nonton tarian tradisional, eh ternyata suka juga hehe.

sungai sebelum start point Campuhan Ridge Walk

sungai di Green School

salah satu bangunan sekolah Green School






naik ayunan di Green School

jalur Campuhan Ridge Walk

ayunan di tengah-tengah Ridge Walk, kalau jatuh ngglundung ke hutan

hari berikutnya kami akan jalan lanjut ke Lombok dan Gili, tapi karena post ini sudah terlalu panjang, saya akhiri sampai sini aja dulu. selanjutnya akan ada pantai-pantai dan cerita-cerita yang semoga juga akan menarik. semoga juga penulisnya ngga malas buat nulis lagi hehe

see you soon! xx
Karena sudah terlanjur bilang tahun ini mau lebih sering nulis pakai bahasa Indonesia, jadi mari kita coba. (Sebetulnya saya sih yang mau coba, pembaca sih baca aja.)

Sejujurnya tiap saya buka Instagram dan lihat update-an beberapa teman yang semangat membagi ilmu agama, menggunakan istilah-istilah islami (ukhti, akhi, antum, ana, dll) dengan aktif dan beberapa kebelet menikah muda, saya sering dilanda perasaan campur aduk antara skeptis, menghargai, lalu skeptis lagi haha.
Jangan salah, saya tidak menghakimi mereka, tidak memberi penilaian apapun karena itu hak mereka dan selama masih dalam tujuan berbagi kebaikan kenapa harus dicaci? Lalu karena penasaran, saya mencoba membayangkan diri saya sendiri yang mengunggah hal-hal seperti itu, dengan asumsi pengikut saya di media sosial jadi tahu kedalaman pengetahuan agama saya, apa yang saya lakukan untuk membuat ilmu agama saya bertambah.. rasanya kok aneh ya. Ada kesan seakan-akan saya ingin orang lain tahu bahwa saya sedang 'berbuat baik' dan saya ini perempuan yang baik-baik juga kok yang islami dan ngga neko neko. Dalam hati saya ada sesuatu yang bilang, kalau memang mau memperbaiki diri apa harus diunggah ke internet atau harus banyak orang tahu? Apa kalau saya datang pengajian atau acara dengan tema islami lalu update di internet (atau juga tidak) saya jadi manusia yang lebih baik daripada saat saya baca buku dari Osho tentang spiritualitas yang lebih universal, yang dia sendiri tidak percaya tuhan, tapi nilai-nilainya sangat dekat dengan nilai Islam? Apa taaruf lalu nikah muda lebih baik daripada bersusah payah mengenalkan Islam kepada seseorang yang masih ragu apakah Tuhan itu ada, tapi selama ini secara tidak sadar dia sudah separuh jalan menerapkan ajaran Islam?

Saya kan jadi sering bingung, saudara-saudara. (Ya iyalah, bedain akhwat sama ikhwan aja bingung lu Ra.)

Ada fase dimana saya sangat amat termotivasi menjadi lebih agamis dengan cara berusaha pakai rok kemana-mana mau pergi, kerudungnya dipanjangkan, kalau bicara dan tertawa dihalus-halusin ngga nyolot seperti biasanya, mengurangi bergaul dengan banyak teman laki-laki dan lebih sering datang pengajian. Tapi justru saya merasa itu bukan diri saya dan tidak menemukan kesadaran-kesadaran spiritual baru karena saya yang pada dasarnya pecicilan ini jadi merasa dibatasi ruang geraknya oleh yang namanya, kata orang-orang, syariat.

Setelah dibenturkan dengan masalah-masalah dan kebodohan-kebodohan sendiri, baru saya tahu bahwa semua itu memang sudah ada garisnya, aturan-aturannya, ketetapan dari Allah yang memang begitu cara kerjanya. Kalau saya menolak mendengarkan kata hati saya, yang mencoba meneriaki saya kalau yang saya lakukan itu salah, berarti saya menyalahi diri saya sendiri kan? Baru saya tahu kalau syariat itu mencakup semua-mua-muanya yang ada di alam semesta ini, termasuk kencing, mandi, olahraga, makan, tidur. Kalau saya menyalahi diri saya sendiri dengan tidak olahraga berarti saya tidak menjalankan syariat kan? Apa definisi syariat itu cuma tidak bersalaman dengan non muhrim, pakai kerudung sampai menjuntai ke lantai, dll dll?

Saya yang pengetahuan agamanya secetek kolam ikan ini sepertinya memang harus dibiarkan jatuh masuk lubang kehinaan penuh dosa dulu baru sadar wakakaka.

Tapi yang saya syukuri, saya sangat amat beruntung menjadi orang yang relatif intuitif dan spiritual. Perasaan dan insting saya sering menuntun saya menuju hal-hal yang dulu cuma bisa saya bayangkan atau malah jauh lebih baik dari apa yang pernah saya harapkan. Lagi-lagi, perasaan itu datangnya dari Tuhan juga kan. Semoga Tuhan masih sayang sama saya (dan kita semua) jadi kita masih diberi kesadaran untuk bersyukur dan selalu belajar. Kalau ada yang mau diskusi dan belajar agama sama-sama, dengan senang hati lho, asal ujungnya bukan jadi debat kusir aja.. :D 
Opini pribadi di atas jangan dimasukkan ke hati juga, bagi yang merasa sakit hatinya.. semuanya tidak dimaksudkan personal kok.

Stay positive, xx



hi again. crazy that it's almost christmas (already?!) and new year is also around the corner. when i think about 2008 i still think that it's 3-4 years ago, not 10. it means i'm officially an almost-23-year-old grown-up who is sometimes not ready to take care of her own shit and would gladly stay in bed and binge watch some movies or do yoga and drink teas all day.

the truth is, i have to move my lazy ass every morning out of bed to go to uni and on weekends to go to work and this was pretty overwhelming for me in the beginning. after 10 months of having the same routine, i kinda get used to it and even had shitty mood when i didn't have to go to work on saturday. it feels like you're a machine that is always running and when it's time to take a break you don't really know how to do it. and to be honest, the beginning of this year is kind of a blurry vision to me. i lost my weird cashier job with too little money (which is not very tragic, after all), found a new job which is my current job right now, my roommate was back after half a year away, had a life-changing love-life drama, met some assholes and some good people along the way, my grandfather passed away, had a fight with my another roommate after 2 years living together and ended up in good terms even better than before, aaaand a lot more happened. some of my closest and beloved people also moved out of the city. not to mention the never ending uni deadlines and laboratory and exams in between all of that.

there were moments where i just wanted to sit in the corner and cry my eyes out because i couldn't hold it any longer. i was always the kind of person who wants to please everybody and wants to be everybody's best friend, who wants to handle everything perfectly and i learned the hard way that you just can't. some people just want to use your kindness for their own benefits, some don't even care about your well-being as long as they're happy with themselves and some don't really know what to do and just being sympathetic because they pity you.

i also learned to really, actually, deeply love myself. self-love is the hardest thing to do, to know the right amount of self-love really is an art. after a bitter experience-i won't go into details-that i have written in a post before (about forgiving and healing), i can now say that you are the only thing you need to be happy. everything else will fall into place right after you find your peace and acceptance for yourself. and right then, you can start to give love to others who deserve or maybe don't deserve it.

i have decided that i will not regret that i have given my time and attention to the wrong people in my life. maybe it's part of the process of finding out and realizing that the right ones were beside you all along and would support you through thick and thin. i also had a hard time to be honest with myself, to finally acknowledge my feelings i have tried to bury because i didn't want to face the truth. and turns out, the truth is not so bad after all. i still feel like i don't deserve all the attention and love that i get every minute and every day from my loved ones, but maybe that's the way the universe is showing me that i, despite everything i have ever complained about, am loved.

so thank you to everyone who brought me to be where i am today. there's always the first time for everything. this year i felt the kind of heartache for the first time that made me cry three days in a row because someone i love passed away. for the first time, i found out that i can actually love someone so much it hurts to even imagine not being with them. for the first time, i was so depressed and anxious that i started to doubt my self-worth. but again and again, i found out that the universe has its own way to work things out. thank you for everyone who has hurt me and thank you for everyone who has healed me. let us all welcome the new year with a big smile and even bigger heart.









love xx
hello again.
i really wanted to start to write again but hesitated, thought it wouldn't be the best idea to publicly pour my heart out just so some stranger can read what was my roller coaster of emotion in the past 6 months. but i think if i don't just write it, i wouldn't really be able to get it off my chest. so just to be clear, i write to figure things out. to untangle the knot of endless anxiety i'm currently having on my mind.

basically i had a really hard time dealing with psychological pain in the last couple of months. i talked to a friend who had similar experience and it took him longer than what i needed to accept and let go of what happened. well we're still trying to accept and let it go but i hope it gets better as time goes by.

so all my life, i never really had problems hanging out with boys. i even found it easier to hang out with them than with girls my age because i've always had the feeling of indirect competition between girls. and i don't like it. i hate that i had to dress up and make myself pretty to impress boys. i hate that in school, the society created some kind of social pressure that you have to have boyfriends/girlfriends to be considered normal. i was probably weird, but i'm glad i didn't give in to those "standards".

now that i don't live in my homeland anymore and i am responsible for myself, i have that feeling of liberation because i don't have to fulfill that idea of what a girl should and should not do at this and that point in life. i met new people, fell in and out of love, cried my eyes out, had the best time of my life, found me new families in this home away from home..
long story short, i met someone new and thought this was probably just gonna be like any other guys i had met before, and it turned out to be my mistake to not anticipate of what came next. i kinda liked talking to him because he responded just like the way i wanted to, and he liked me probably because he was able to forget the fact that he became completely messed up from his last break up. i sort of hoped that this would stay like this for a while, where everything is fine and nobody gets hurt but it started to change as i spent the majority of my time with him and it was kind of getting really time-consuming. and so i had this feeling that this was not gonna end up good. and my feeling turned out to be true. our closeness went really wrong, turning from 'like' to 'lust' and i didn't like it. i knew it was wrong because it felt wrong and i kept doing it. he was forcing himself on me, even after i didn't give consent and when i showed unwillingness, it directly went off the rails. i decided to stop seeing him and became this empty, traumatized person. i wasn't myself, couldn't really smile nor laugh and had to meditate a lot to release all the negative energy in me. i was disappointed with myself for letting it all happened in the first place. but i also knew it took a lot of strength from me to get out of this circle. so the first thing i tried to do was to forgive myself and apologize to my body. that's where i thought would begin the healing.

i was incredibly upset, i felt used and betrayed because all my trust i put in someone was ruined. later i found out that he might be a pathological liar and glad that i was freed from this whole mess early enough. but to be clear, i was assaulted and it was not okay. i know i'm not the only one, i know there are so many who are having it worse than me. but i just never expected it to be me. i thought i was strong enough to not let boys go near me that much. the worse part was that he didn't even have that remorsed feeling and never wants to acknowledge that his doing was wrong. he checked on everybody to make sure that he's still seen as the nice boy in town. he called me things behind my back and indirectly asked me to make sure i wasn't telling anybody about us. it was terrible.

but if i let it consume me, i wouldn't be a better person. so after i decided to try to forgive myself, i tried to forgive him. even when he doesn't apologise. i needed to forgive him to make peace with myself. to finally be able to move on with my life and to let me free from this unnecessary drama. i don't even care about what people think of me, that's probably the last thing i could be worrying about.

i hate that some men have -or society makes them feel like they have- the need to prove themselves as 'men' with this girl-conquest. but you can't hate them, you can't hate society, you can't hate the person who did it and you can't hate yourself. the more i try to forget it, the more it comes back to me. so i guess the only way is to accept everything that's happened and repulse any negativity that tries to bring you down. i'm still telling myself to take as much time i need to heal because there's no right or wrong in that. i was questioning my self-worth all the time, and that's was wrong and what made me depressed. i realised i don't need anybody's approval to love myself, but in that kind of situation it was really hard. moreover when you realised you gave the right pieces of you to the wrong person.

i know in this case i generally talked about women being the victim but it could also happen to men. and i'm not trying to make myself the victim here, because it's partly my fault too that all of this happened. so yes, i could see it from a different perspective now. i tried to comprehend his past and the complexity of the circumstances of it all but it really took me a while to get there and i'm still struggling to not let it define me and the actions i make.


"Forgive anyone who has caused you pain or harm.
Keep in mind that forgiving is not for others.
It is for you.
Forgiving is not forgetting.
It is remembering without anger.
It frees up your power, heals your body, mind and spirit.
Forgiveness opens up a pathway to a new place of peace where you can persist despite what has happened to you." - Les Brown



sidenote: this post was not meant to offend anyone, but was meant to liberate myself from the anxiety and hatred it has caused me.

spread the good love guys, xx R


Setelah sebelumnya sempat sering diprotes karena jarang nulis pakai bahasa ibu sendiri, saya coba aja mungkin yaa.. haha

Sebetulnya banyak alasan saya malas menulis menggunakan bahasa Indonesia, karena salah satunya saya merasa belum bisa menulis pakai bahasa yang baik dan benar. Suka masih malu juga karena ngomong aja masih suka campur campur bahasa Inggris, malah kadang Jerman kalau ngobrol dengan sesama pelajar Indonesia yang tinggal disini. Tapi bukan berarti saya tidak cinta bahasa sendiri. Bahkan sepertinya saya terlalu cinta dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bagaimanapun juga kan saya lahir dan delapan belas tahun hidup di Jawa.. Sayangnya saya sempat tumbuh dengan pola pikir bahwa semakin pintar bahasa Inggris semakin kamu gaul dan kalau bisa menyelipkan beberapa kata bahkan kalimat bahasa Inggris di dalam percakapan maka semakin keren lah kita.
Itu dulu ya, waktu masih labil dan masih muda, maunya paling keren dan gaul jadi ga sudi lah dengerin D'Massiv atau ST12. Sampai sekarang juga masih mikir-mikir kok kalau mau dengerin 😁

Alasan yang kedua karena yang membaca blog saya ternyata tidak cuma dari Indonesiaaa saudara-saudara. Jadi rasanya (mungkin ini perasaan saya aja) kalau mau menulis post pakai bahasa Indonesia kok sepertinya agak egois hehehe lagi pula saya niatnya dari awal ingin berbagi cerita ke sebanyak-banyak manusia.

Jadi apakah maksud dibalik saya tiba-tiba nulis post ini? Banyak.

Beberapa orang terdekat saya suka (lagi-lagi) protes kenapa saya jarang berbagi pengalaman selama tinggal di negara orang. Karena.. sebetulnya.. saya ngga kepikiran kalau pengalaman-pengalaman saya ini lebih istimewa dari orang lain sehingga patut ditulis di blog. Untuk yang belum kenal saya, saya tinggal di satu flat hampir dua tahun bersama dua orang Jerman (satu laki dan satu perempuan), satu anjing, satu kucing, dan satu kelinci. Mereka ini sudah seperti keluarga saya sendiri, bahkan sepertinya saya lebih sayang mereka daripada adik saya sendiri (ups. ngga kok, bercanda). Mereka ini yang menghibur kalau saya lagi susah, mendengarkan cerita ga penting saya tiap hari, partner olahraga, teman makan pagi/siang/malam dan partner diskusi mulai dari politik, kultur, agama, sampai kenapa orang Jerman Utara suka makan telur yang kuningnya warna orange.
Saya pun cukup sering dapat komentar macam "kok tinggal sama cowok sih, padahal pakai kerudung." atau "ih terus kalau mau sholat gimana kalau ada anjingnya di dalam rumah??" "kan orang bule suka minum/makan babi/bawa pacarnya pulang ke rumah." dan pertanyaan plus pernyataan serupa.
Faktanya, teman serumah saya dua-duanya tidak ada yang minum alkohol di rumah. Bukan karena saya, tapi karena kesadaran mereka sendiri bahwa alkohol bukan sesuatu yang esensial. Kalau ada teman datang mereka memang bawa wine, mereka mau minum juga saya tidak ada masalah, toh ngga ada yang sampai mabuk, muntah-muntah atau ngga bisa balik pulang ke rumah. Di rumah saya juga tidak ada yang makan daging babi. Lagi-lagi bukan karena saya tinggal disitu, tapi karena mereka sayang sekali sama binatang dan kalau ngga terpaksa ngga akan makan daging :) lah, pas banget kan? Saya tidak pernah sengaja cari flat yang orang-orangnya vegetarian juga lho.. tapi saya percaya, kalau orang yang sefrekuensi akan menarik orang lain yang juga sefrekuensi.

Mereka juga partner saya dalam humanitas, bersama mereka saya akhirnya tahu bagaimana rasanya ikut demo di Jerman menuntut hak-hak untuk pengungsi, membantu orang-orang yang mencari perlindungan ini belajar bahasa Jerman, dan lain lain, dan lain lain.. Ini bukan pamrih, cuma saya rasa kalau saya tidak tinggal dengan mereka, mungkin saya ngga akan bisa berkembang dan menjadi seperti sekarang ini.

Saya merasa meskipun mereka belum percaya agama (yang satu baru saja memutuskan keluar gereja dan yang satu lagi mengaku ateis), tapi mereka sudah menerapkan nilai-nilai agama saya tanpa melihat apakah mereka akan mendapat pahala atau tidak, akan masuk surga atau tidak. Justru disitu saya iri, karena mereka sudah jelas melakukan hal-hal tersebut dengan ikhlas meskipun bukan atas nama Allah sementara saya mungkin masih ada secuil rasa ingin diganti kebaikannya oleh Allah entah itu dengan pahala atau hal lainnya. Dan saya sudah sering juga didebat dan dinilai nyeleneh oleh orang, kalau prinsip saya "sebaiknya melakukan sesuatu jangan karena surga dan neraka tapi karena Allah" itu... ya nyeleneh. Lalu saya pikir, kenapa tidak kita lakukan aja dulu dengan bismillah, urusan dapat pahala atau tidak, masuk surga atau neraka itu bukan kuasa kita lagi, kan?

Kenapa saya belajar menghormati keputusan dan kehidupan orang lain serta belajar menjadi manusia yang welas asih dan lebih baik justru dari orang-orang yang dicap oleh banyak orang di negara saya dengan "kafir"? Saya sering sedih kalau mendengar kata tersebut, bahkan menulisnya saja saya kurang suka. Menurut saya, kita sebagai manusia tidak dalam kapasitas mencap seseorang itu "tersesat", "kafir" atau bahkan "salah" karena kebenaran itu datangnya dari Allah saja. Interpretasi kita akan kebenaran itu bukan kebenaran yang sesungguhnya, itu kan hanya opini dan keyakinan kita. Ilmu saya dalam hadits dan Al-Quran memang masih dangkal, tapi kadang saya ngga sampai hati dan jujur aja, sering miris kalau orang-orang yang mungkin hatinya penuh dengan cinta dan kebaikan seperti teman-teman satu flat saya dinilai "kafir" dan harus dijauhi.. lucunya, bahkan teman-teman saya ini sudah bisa menjelaskan kepada orang-orang Jerman lain kenapa saya pakai kerudung dan bahwa dalam kasus saya, itu bukan paksaan dari kaum laki-laki seperti citra perempuan berkerudung di dunia Barat selama ini.

Rasanya saya tidak pantas dipertemukan dengan orang-orang seperti mereka. Rasanya saya selalu kurang bersyukur.. dan rasa-rasa lain yang membuat saya ingin menangis setiap selesai sholat.

Jadi kalau ada yang bertanya kenapa saya sayang sekali dengan mereka atau kalau ada yang menganggap saya terlalu liberal dengan pemikiran-pemikiran beragama saya, saya ngga mau ambil pusing lagi. Toh yang rugi mereka, karena tidak merasakan indahnya bersaudara dalam perbedaan dan kemanusiaan. Justru saya merasa, Allah terlalu baik deh sepertinya sama saya yang bukan apa-apa ini..

Kaiserslautern, November 2015 (Demo gegen Pegida)

"Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan." - Ali bin Abi Thalib



I discovered spoken word poetry -and Sarah- a few years ago and instantly fell in love with her poems. They speak the truth about human feelings, empowerment and even little things in life. One of my favorite poems of hers ever is this one. This makes me realize that men don't define you as a woman. If they can accept you with the way you define yourself as a woman, they're a keeper!

The Type

If you grow up the type of woman men want to look at,
you can let them look at you.
But do not mistake eyes for hands or windows or mirrors.
Let them see what a woman looks like.
They may have not ever seen one before.

If you grow up the type of woman men want to touch,
you can let them touch you.
Sometimes, it is not you they are reaching for.
Sometimes it is a bottle, a door, a sandwich, a Pulitzer-
another woman.
But their hands found you first.
Do not mistake yourself for a guardian or a muse or a promise
or a victim or a snack.
You are a woman- skin and bones, veins and nerves, hair and sweat.
You are not made out of metaphors, not apologies, not excuses.

If you grow up the type of woman men want to hold,
you can let them hold you.
All day they practice keeping their bodies upright.
Even after all this evolving it still feels unnatural.
Still strains the muscle, hold firms the arms and spine.
Only some men will want to learn what it feels like to curl
themselves into a question mark around you,
admit they do not have the answers they thought they would
by now.
Some men will want to hold you like the answer.
You are not the answer.
You are not the problem.
You are not the poem or the punch-line or the riddle or the joke.

Woman, if you grow up the type men want to love,
you can let them love you.
Being loved is not the same thing as loving.
When you fall in love, it is discovering the ocean after years of
puddle jumping.
It is realizing you have hands.
It is reaching for the tightrope when the crowds have all gone 
home.

Do not spend time wondering if you are the type of women
men will hurt.
If he leaves you with a car alarm heart, you learn to sing along.
It is hard to stop loving the ocean even after he has left you
gasping- "salty."
So forgive yourself for the decisions you've made.
The ones you still call mistakes when you tuck them in at night.
And know this:
Know you are the type of woman who is searching for a place
to call yours.
Let the statues crumble.
You have always been the place.
You are a woman who can build it yourself.
You are born to build.